Sejarah Sepatu Docmart: Diciptakan Tentara Jerman, Dipopulerkan Anak Punk
merek sepatu yang kesohor di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Docmart bahkan disebut sebagai bagian dari revolusi industri sepatu. Tak hanya menjadi alas kaki, Docmart menjadi identitas subkultur pada zamannya mulai dari skinhead hingga punk.
Banyak orang yang mengira sepatu Docmart berasal dari Inggris. Hal itu mengingat banyak kaum skinhead hingga grup band punk dan rock di negara tersebut yang hobi memakai Docmart. Padahal sepatu jenis boots ini diciptakan seorang dokter tentara Jerman di era Perang Dunia II, Klaus Martens, medio tahun 1945.
Sepatu Docmart. [Instagram/docmarters]
Klaus memiliki ide menciptakan Docmart usai dia mengalami cedera saat bermain ski di pegunungan wilayah Bavaria, Jerman. Sepatu boots tentara yang dia gunakan saat itu sangat tidak nyaman dipakai dengan kondisi kakinya yang cedera.
Dia pun melakukan sejumlah modifikasi dengan sepatu boots tentaranya. Klaus memberikan lapisan kulit yang lebih lembut serta sol yang empuk agar enak dikenakan. Dia juga memberikan bantalan udara di sepatu tersebut.
Klaus kemudian berpikir untuk melempar inovasinya itu kepada public tahun 1947. Bersama kawan lamanya, Herbert Funck, mereka mulai memproduksi sepatu boots secara massal dengan sejumlah perbaikan. Salah satunya yakni menambahkan bahan karet bekas yang tak terpakai dari lapangan terbang Lutwaffe, Jerman.
Tak disangka penjualannya terus meningkat. Pada tahun 1959, perusahaan Inggris bernama Griggs Group ebeli hak paten Docmart untuk diproduksi di Negara Ratu Elizabeth. Saat itulah Docmart menjadi semacam identitas bagi kaum pekerja atau working class di Britania Raya.
Docmart pun merambah subkultur skinhead dan komunitas vespa dan menjadi simbol kebebasan dan perlawanan. Sepatu boots tersebut semakin populer lantaran banyak digunakan anggota band punk rock, hardcore, straight edge hingga ska.
Hal ini memantik long march yang dilakukan Docmart dari London hingga menyebar ke seluruh dataran Inggris dan Eropa, lalu menginvasi dunia. Medio tahun 1900-an, sepatu Docmart berkembang menjadi trend yang menjangkiti hampir semua kalangan, tak hanya subkultur punk.
Docmart pun menjadi industri besar yang komersial. Namun hal ini kemudian menimbulkan kekecewaan sebagian pihak karena sepatu itu awalnya lahir dari semangat antikapitalisme dan perlawanan.
Kini Docmart telah menjadi fesyen setelah gelombang subkultur yang membesarkan merek itu surut. Pengguna Docmart tak lagi peduli dengan makna yang pernah tersemat padanya. Kini Docmart pun tak lagi menjadi sepatu kaum pekerja yang tak berpunya karena banderol sepatu tersebut kini relatif mahal.
Meski makna dan pamor Docmart kini mulai meredup, Klaus Martens telah menorehkan karya yang menjadi legenda dalam sejarah persepatuan dunia.
Kisah Sukses Sepatu Compass, Sepatu Lokal Rasa InternasionalSepatu Compass adalah sepatu lokal berkualitas yang tak kalah dengan merek asing, apakah kamu juga salah satu penggunanya?
Belakangan ini, industri dalam negeri semakin menggeliat dan menunjukkan gigi di pasar nasional. Beberapa di antaranya juga ada yang dianggap merek asing, karena kualitasnya setara dengan merek internasional.
Mulai dari bisnis fashion seperti Erigo, perlengkapan outdoor Eiger, dan industri kuliner seperti J.CO yang sebenarnya merupakan brand lokal rasa internasional. Dalam industri sepatu, merek sepatu Compass juga menjadi salah satu merek yang banyak disukai anak muda.
Pasalnya, Compass hadir dengan beragam pilihan produk sepatu jenis kanvas dengan model kekinian dan kualitas jempolan. Selain itu, harganya juga relatif lebih terjangkau dibandingkan merek asing.
Menggunakan produk dalam negeri tentunya lebih mengecewakan dibandingkan produk asing. Pasalnya, produk sepatu lokal ini juga bisa membuat Anda tampil keren secara maksimal!
Ingin tahu bagaimana perjalanan bisnis sepatu Compass dan kisah inspiratifnya? Simak sampai akhir yuk!
Sosok Di Balik Suksesnya Sepatu Compass
Pada mulanya, sepatu Compass bernama brand Gazelle Sport yang didirikan tahun 1988 oleh Kahar Setiadi (Alm) di bawah PT Kompas Mas. Bisnis ini kemudian dilanjutkan oleh putra, Kahar Gunawan dengan nama brand Compass.
Ciri khas sepatu Compass adalah menggunakan bahan kain twill berkualitas internasional. Kompas mengalami banyak pasang surut bisnis dan penjualan yang kerap kali tak stabil.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Kompas menggandeng Aji Handoko Purbo sebagai direktur kreatif pada tahun 2017. Sejak saat itu, Kompas semakin dikenal oleh masyarakat.
Perjalanan Brand Sepatu Compass
Kesuksesan sepatu Compass melalui perjalanan yang cukup panjang hingga bisa sesukses sekarang. Ada proses dan rintangan yang harus dilalui.
Berkat konsistensi dan keuletan, Compass berhasil menjelma menjadi salah satu sepatu lokal terbaik.
1. Berakar dari Visi Sang Ayah
Sepatu Compass berawal dari brand Gazelle Sport yang diwariskan sang ayah. Sang Putra, Gunawan membangun kembali pabrik sepatu dengan berpedoman pada kunjungan yang ditinggal oleh ayahnya.
Ia memiliki kemauan yang kuat untuk mengembangkan merek Compass menjadi merek lokal berkualitas dan mampu bersaing dengan sepatu impor yang sudah lebih dulu mewarnai pasar sepatu dalam negeri.
Sepatu lokal ini juga sempat mengalami pembaharuan pada tahun 2018 agar terlihat lebih keren, kekinian, dan mempunyai model sepatu terbaru. Namun, Gazelle tetap mempertahankan Identitasnya sendiri.
Adidas AG adalah perusahaan multinasional yang memproduksi perkelengkapan olahraga, berasal dari negara Jerman dan berkantor pusat di Herzogenaurach, Jerman. Sejarah Adidas terkait erat dengan dunia olahraga dan gaya hidup, dan telah menjadi favorit di kalangan atlet, selebriti, dan masyarakat luas. Adidas didirikan oleh Adolf “Adi” Dassler, adik kandung dari Rudolf Dassler yang merupakan pendiri brand Puma.
Sejarah Perusahaan
Adidas didirikan oleh Adolf “Adi” Dassler yang membuat sepatu di ruang cuci atau ruang cuci ibunya di Herzogenaurach, Jerman setelah Perang Dunia I. Pada Juli 1924, kakak laki-lakinya, Rudolf bergabung dengan bisnis tersebut yang kemudian lahirlah “Dassler Brothers Pabrik Sepatu “(Gebrüder Dassler Schuhfabrik). Dassler membantu dalam pengembangan sepatu lari berpaku (spike) untuk beberapa pertandingan atletik.
Kedua Dassler bersaudara bergabung dengan NSDAP pada Mei 1933 dan menjadi anggota Korps Motor Sosialis Nasional. Selama perang dunia kedua (1939-1945), perusahaan itu menjalankan pabrik sepatu olahraga terakhir di negara itu dan memasok sepatu ke Wehrmacht. Namun pada tahun 1943, produksi sepatu dipaksa berhenti beroperasi dan fasilitas serta tenaga kerja perusahaan digunakan untuk membuat senjata anti-tank.
Pabrik Dassler, yang digunakan untuk produksi senjata anti-tank selama Perang Dunia Kedua, hampir dihancurkan pada tahun 1945 oleh pasukan AS. Akan istri Adolf Dassler berhasil meyakinkan GI bahwa perusahaannya hanya tertarik pada pembuatan sepatu olahraga. Pasukan pendudukan Amerika kemudian menjadi pembeli utama sepatu Dassler bersaudara.
Namun hubungan kedua bersaudara itu pun memburuk, Rudolf menganggap bahwa adiknya Adolf telah melaporkannya sebagai mata-mata, membuat Rudolf menjadi tawanan tentara inggris. Mereka memutuskan berpisah pada tahun 1948 dan Adolf Dassler mendirikan Adidas dan Rudolf Dssler mendirikan PUMA. Kedua perusahaan tersebut sama-sama masih berbasis di Herzogenaurach, Jerman.
Kematian mendadak Horst Dassler di tahun 1987, dua tahun sepeninggal ibunya, Käthe, menjadi saat-saat yang sulit bagi Adidas. Setelah keluarga Dassler tidak lagi menangani perusahaan, kepemimpinan sempat berganti-ganti dan terdapat keputusan strategis yang kurang matang sehingga menyebabkan kerugian besar dalam sejarah di tahun 1992.
Pada ujung kebangkrutan CEO Robert Louis-Dreyfus bersama dengan koleganya Christian Tourres, sangat memahami bahwa Adidas hanya perlu arahan baru. Dia mengubah fokus perusahaan yang dulunya berfokus pada penjualan menjadi berfokus pada pemasaran dan mengembalikan perkembangan pesat dalam sejarah Adidas. Pada tahun 1995 Adidas berubah menjadi perusahaan publik.
Brand Adidas
Pada tanggal 18 Agustus 1949, Adi Dassler memulai kembali semua saat dia berusia 49 tahun, mendaftarkan “Adi Dassler Adidas Sportschuhfabrik” dan bekerja bersama 47 pegawai di kota kecil bernama Herzogenaurach. Pada hari yang sama, dia mendaftarkan sepatu sekaligus menyertakan motif Adidas 3-Stripes. Desain 3-Stripes ini yang kemudian menjadi identitas Adidas hingga saat ini.
Walaupun nama Adidas adalah singkatan dari nama pendiri dolf “Adi” Dassler namun sebagian pihak berpendapat bahwa sebetulnya Adidas adalah sebuah singkatan dari “All day I dream about sports” (Tiap hari aku bermimpi tentang olahraga). Hal ini mengingat bila tiap huruf pertama dari kata yang terkandung dalam kalimat akan membentuk kata Adidas yang juga mendukung semangat olahraga.
Sejak awal, Adidas mengembangkan ciri khas yang ikonik dan mudah dikenali. Pada tahun 1952, merek ini memperkenalkan logo tiga garis sejajar yang telah menjadi ciri khas merek Adidas. Logo tiga garis ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen desain yang estetis, tetapi juga menjadi lambang identitas brand yang kuat dan mudah diingat.Adidas dan Run-D.M.C. “My Adidas”
Adidas menghadapi krisis citra dan penurunan penjualan pada saat itu, terutama di Amerika Serikat. Namun, Run-D.M.C. memiliki popularitas yang meningkat dan pengaruh yang kuat di kalangan penggemar hip-hop dan masyarakat perkotaan. Melalui kolaborasi dengan grup ini, Adidas berharap dapat menyasar pasar Amerika Serikat dan mendapatkan kembali popularitas mereka.
Adidas dan Run-D.M.C. “My Adidas”
Adidas menghadapi krisis citra dan penurunan penjualan pada saat itu, terutama di Amerika Serikat. Namun, Run-D.M.C. memiliki popularitas yang meningkat dan pengaruh yang kuat di kalangan penggemar hip-hop dan masyarakat perkotaan. Melalui kolaborasi dengan grup ini, Adidas berharap dapat menyasar pasar Amerika Serikat dan mendapatkan kembali popularitas mereka.
Run-D.M.C. adalah grup musik hip-hop legendaris yang memainkan peran penting dalam membawa musik hip-hop ke panggung internasional pada tahun 1980-an.
Kerjasama Run-D.M.C. dengan Adidas dimulai ketika anggota grup, Joseph “Run” Simmons, dan Darryl “D.M.C.” McDaniels, terkena hukuman atas tuduhan berhubungan dengan penjualan dan pemakaian narkoba. Pada saat itu, grup ini hampir bubar karena terlibat dalam kasus hukum tersebut. Namun, pada saat yang sama, mereka sedang mempersiapkan tur Eropa dan ditawari oleh Adidas untuk menjadi duta mereka.
Namun, yang menarik adalah bahwa kerjasama ini tidak melibatkan uang atau persyaratan kontrak yang rumit. Run-D.M.C. hanya diminta untuk menandatangani satu-satunya kesepakatan di industri olahraga pada saat itu – mereka diminta untuk membuat lagu tentang Adidas. Run-D.M.C pun membuat lagu yang berjudul My Adidas pada album ketiga mereka Raising Hell. Lagu ini bercerita tentang kerja keras seseorang di lingkungan bermasalah dan antusiasme sejati dan rasa bangga terhadap sepatu yang mereka kenakan.